Kamis, 05 Juni 2014

Acha...titik titik



Braga,2011
            Hari itu Acha bertemu temannya. Tidak sengaja. Tanpa skenario. Tanpa rencana. Semuanya kebetulan semata. Pandangan Acha sudah melihatnya sejak temannya masih jauh disana, tapi Acha masih berpura-pura tak melihat hingga pada akhirnya temannya perlahan-lahan menghampiri Acha. Dan luntur lah percakapan diantara mereka. Antara Acha dan Irfan.


“Kamu sendiri cha?” tanya teman itu.
“Ya, lagi apa kamu disini” memandangi dia dari atas ke bawah.
“lagi main”
“sama?”
“tuuuh… sama dia”
“…”

            Acha terkejut melihat sosok sang dia yang ditunjuk temannya itu.
Oh Tuhan, apalagi skenario-Mu. 
Sang dia , sebut saja A. mulai menghampiri Acha dan temannya.


“Hallo cha…apa kabar” menatap Acha tajam.
“hai! Baik , kamu?” Acha tunduk, seakan A tak ada didepannya.
“Baik, sendiri aja cha?”
“iya, aku pergi duluan ya” Acha bergegas meninggalkan mereka.
"..."



“TUNGGU cha….” Teriak Irfan
“ada apa lagi ya?”
‘ada yang ingin mengatakan sesuatu kepadamu”
“siapa?”
“dia dia…” sambil menyeret A ke depan mata Acha.
“Maaf, aku sedang buru-buru. Lain kali saja”
“…”


            Oh Tuhan, kebohongan apa lagi yang harus aku lakukan. Berbohong itu sulit...berbelit. Aku harus menyusun skenario agar kebohongan ini indah, agar kebohongan ini tak ada yang tahu, agar aku dan Tuhan saja yang tahu. Tapi itu sulit, saat harus membuat jalan cerita yang sama sekali tidak pernah terjadi, saat kebohongan itu ketahuan. Plaaak. Tapi ini bukan lagi tentang bagaimana hal itu bisa terjadi tapi ini tentang bagaimana bisa  membohongi perasaan sendiri. Kalau ternyata A , sesungguhnya aku ingin berbicara denganmu juga. I just want to be still for awhile.

            Aku bergegas meninggalkan tempat itu.
Tidak!
Tidak!
Aku tidak ingin mendengar sesuatu darinya. Aku menunggu senja ketika memang senja itu sudah siap untuk menunjukan layar jingganya. Aku tak akan memaksakan untuk datang ketika siang hari. Senja di siang hari. Itu mustahil.
MUSTAHIL. Oh Acha yang malang
 
A … aku memperhatikan setiap gula pasir yang larut dalam teh yang kerap aku minum setiap pagi, 
proses difusi osmosis menjadikan peristiwa biologis yang tak mungkin aku lewatkan. 
Saat gula pasir berlomba agar cepat larut dalam teh itu…
aku masih larut memperhatikan. 
Kue-kue yang menjadi temanku pagi itu...masih sama bentuknya, 
masih setia menunggu untuk ku lahap. 
Oh A, adakah kau menunggu ku disana???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar